Islam merupakan agama dengan pemeluk terbesar di Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari usaha para juru dakwah agama Islam dalam melakukan islamisasi di Indonesia. Islamisasi adalah istilah umum yang biasa dipergunakan untuk menggambarkan proses persebaran Islam di Indonesia pada periode awal (abad 7-13 M), terutama menyangkut waktu kedatangan, tempat asal serta para pembawanya, yang terjadi tidak secara sistematis dan terencana. Inilah definisi islamisasi yang dimaksud dalam tulisan ini. Metodologi tulisan ini sepenuhnya merupakan penelitian kepustakaan (library research). Di sini penulis akan mencoba menguraikan beberapa pandangan mengenai teori Islamisasi di Indonesia secara deskriptif-analitis. Pembahasan mengenai masuknya Islam ke Indonesia sangat menarik terkait dengan banyaknya perbedaan pendapat di kalangan sejarawan. Masing-masing pendapat menggunakan berbagai sumber, baik dari arkeologi, beberapa tulisan dari berbagai sumber. Ada tiga pendapat tentang waktu masuknya Islam di Nusantara yaitu :
Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:
Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh) sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
Seminar mengenai Masuknya Islam ke indonesia di medan pada Ahad 21-24 Syawal 1382 H (17-20 maret 1963 H) yang salah satu kesimpulannya adalah Islam telah masuk ke Indonesia langsung dari Arab.
Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China.
Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.
Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab Muslim).
T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).
Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11:
Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimun dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082)
Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13:
Catatan perjalanan Marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di Aceh, pada tahun 1292 M.
K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13.
Pendapat ini juga disampaikan oleh N.H. Krom dan Van Den Berg. Namun, pendapat ini memperoleh sanggahan dari : H. Agus Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Sayeg Alwi bin Tahir Alhada, H.M Zainuddin, Hamka, Djuned Parinduri, T.W. Arnold yang berpendapat Islam masuk ke Indonesia telah dimulai sejak abad ke-7 M.
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar:
<>1. <>Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M.
Kedua, teori Mekkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M.
Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.
Jika teori tersebut ditelaah lebih jauh, pendapat yang muncul akan cukup beragam. Bahkan beberapa diantaranya ada yang menyatakan bahwa Islam berasal dari Cina.
Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O. Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan G.E. Morison. Pijnapel, seorang ahli Melayu dari Universitas Leiden, Belanda, mengemukakan teori ini pada tahun 1872. Menurut Azyumardi Azra teori ini diambil dari terjemahan Perancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco polo dan Ibnu Battutah. Kesimpulan catatan Sulaiman menyebutkan bahwa Islam di Asia Tenggara dikembangkan oleh orang-orang Arab yang bermazhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India. Oleh karena itu, menurut teori ini, Nusantara menerima Islam dari India. Kenyataan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India menurut teori ini tidak menunjukkan secara meyakinkan dilihat dari segi pembawanya. Sebagaimana dikemukakan Pijnapel, bahwa Islam di Nusantara berasal dari orang-orang Arab yang bermazhab Syafii yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar. Pijnappel sebenarnya memandang bahwa Islam di Nusantara disebarkan oleh orang-orang Arab. Pandangan ini cukup memberikan pengertian bahwa pada hakekatnya penyebar Islam di Nusantara adalah orang-orang Arab yang telah bermukim di India. Penjelasan ini didasarkan pada seringnya kedua wilayah India dan Nusantara ini disebut dalam sejarah Nusantara klasik. Dalam penjelasan lebih lanjut, Pijnapel menyampaikan logika terbalik, yaitu bahwa meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai hasil kegiatan orang-orang Arab, tetapi hal ini tidak langsung datang dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir barat, dari Gujarat dan Malabar. Jika logika ini dibalik, maka dapat dinyatakan bahwa meskipun Islam di Nusantara berasal dari India, sesungguhnya ia dibawa oleh orang-orang Arab.
Pendukung lain teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia berpendapat bahwa, ketika Islam telah mengalami perkembangan dan cukup kuat di beberapa kota pelabuhan di anak benua India, sebagian kaum Muslim Deccan tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara. Orang-orang Deccan inilah, kata Hurgronje, datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai penyebar Islam pertama. Orang-orang Arab menyusul kemudian pada masa-masa selanjutnya. Hubungan perdagangan Timur Tengah dan Nusantara menjadi entry point untuk melihat kehadiran Islam di Nusantara. Tetapi karena secara geografis, anak benua India berada di antara Nusantara dan Timur Tengah, maka dapat dipastikan bahwa sebagian padagang Muslim Arab dan juga Persia singgah terlebih dahulu di India sebelum mencapai Nusantara. Kenyataan ini tentu tidak diabaikan Hurgronje, hanya saja ia menekankan peran bangsa India dalam penyebaran Islam di Nusantara. Mengenai waktu kedatangannya, Hurgronje tidak menyebutkan secara pasti. Ia juga tidak menyebutkan secara pasti wilayah mana di India yang dipandang sebagai tempat asal datangnya Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan prediksi waktu, yakni abad ke-12 sebagai periode yang paling mungkin sebagai awal penyebaran Islam di Nusantara. Dari segi metodologi sejarah, ketidakpastian tentang waktu dan tempat adalah kesalahan fundamental, sehingga argumentasi Hurgronje terlalu lemah, untuk tidak mengatakan keliru.
Dukungan yang cukup argumentatif atas teori India disampaikan oleh W.F. Stutterheim. Ia menjawab aspek-aspek mendasar dalam sejarah, tentang di mana (ruang) dan kapan (waktu). Dengan jelas, ia menyebutkan Gujarat sebagai negeri asal Islam yang masuk ke Nusantara. Pendapatnya didasarkan pada argumen bahwa Islam disebarkan melalui jalur dagang antara Nusantara Cambay (Gujarat) Timur Tengah Eropa. Argumentasi ini diperkuat dengan pengamatannya terhadap nisan-nisan makam Nusantara yang diperbandingkan dengan nisan-nisan makam di wilayah Gujarat. Relief nisan Sultan pertama dari kerajaan Samudera (Pasai), al-Malik al-Saleh (1297 H), menurut pengamatan Stutterheim, bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Kenyataan ini cukup memberikan keyakinan pada dirinya bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat. Demikian ia menjelaskan aspek ruang kedatangan Islam ke Nusantara. Penjelasan ini cukup argumentatif dan didukung data yang memadai, tetapi Stutterheim tidak memperhatikan proses Islamisasi di Gujarat. Sebagaimana dijelaskan Marison, wilayah ini baru diislamkan satu tahun setelah wafatnya sang Sultan, yaitu pada 1298 M. Pada saat bersamaan penyebaran masyarakat Islam pada periode tersebut, ketika bangsa Mongol melebarkan ekspansinya (Bagdad ditaklukan pada 1258 M), mereka mulai mencari daerah baru bagi kehidupan mereka. Seandainya Stutterheim menyebutnya sebagai proses lebih lanjut dari Islamisasi Nusantara, misalnya perkembangan Islam pada abad 14-16, bisa jadi Gujarat ikut andil memberikan pengaruhnya di Nusantara mengingat daerah itu (Gujarat) lebih dekat secara geografis ke wilayah Nusantara. Walaupun terdapat kekurangan, teori yang dikemukakan Stutterheim mendapat dukungan dari Moquette, sarjana asal Belanda.
Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan membawanya pada kesimpulan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Moquette menjelaskan bahwa bentuk batu nisan, khususnya di Pasai mirip dengan batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (822 H/1419 M) di Gresik Jawa Timur. Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah itu sama dengan batu nisan yang terdapat di Cambay (Gujarat). Kesamaan bentuk pada nisan-nisan tersebut meyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu diimpor dari India. Dengan demikian, Islam di Indonesia, menurutnya, berasal dari India, yaitu Gujarat. Teori ini kemudian dikenal juga dengan teori batu nisan.
Teori lainnya yang menjelaskan bahwa Islam berasal dari anak benua India dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan dikemukakan pula oleh Tome Pires. Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini berkeyakinan bahwa Islam berasal dari Benggal (Bangladesh sekarang). Tome Pires berpendapat bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Pendapat ini disetujui oleh Fatimi. Bahkan lebih jauh Fatimi menjelaskan, bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya adalah dari arah timur pantai, bukan dari barat Malaka, melalui Kanton, Pharang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurutnya, terjadi pada abad ke-11 M. Masa ini dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H atau 1082 M di Leran Gresik. Menurut M.C. Ricklef, ini adalah nisan kuburan Muslim tertua yang masih dapat ditemukan di wilayah ini. Berkenaan dengan teori batu nisan dari Stutterheim dan Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India, Fatimi menentang keras pendapat ini. Menurutnya, bahwa menghubungkan seluruh batu nisan di Pasai dengan batu nisan dari Gujarat adalah suatu tindakan yang keliru. Berdasarkan hasil pengamatannya, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya batu nisan al-Malik al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Ia berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan itu mirip dengan batu nisan yang ada di Benggal. Oleh karena itu, batu nisan tersebut pasti didatangkan dari Benggal, bukan dari Gujarat. Analisis ini dipergunakan Fatimi untuk membangun teorinya yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Benggal. Tetapi terdapat kelemahan substansial pada Fatimi, bahwa perbedaan mazhab fikih yang dianut muslim Nusantara, yaitu para pengikut mazhab Syafii dengan para pengikut mazhab Hanafi tidak menjadi perhatiannya. Perbedaan mazhab fikih ini menjadikan teori Fatimi lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.
Marison, dengan penjelasannya yang lebih komprehensif, mengidentifikasi Coromandel atau Malabar sebagai daerah asal Islam di Nusantara dan itu terjadi pada akhir abad ke 13 M. Ia tidak membangun teorinya berdasarkan kemiripan batu nisan yang terdapat di beberapa tempat di Nusantara dengan yang ada di Gujarat, atau bahkan di Benggal Menurutnya, kemiripan tersebut tidak harus menunjukkan bahwa Islam Nusantara datang dari daerah-daerah tersebut. Argumentasi yang diajukannya dibangun berdasarkan riwayat Melayu dan laporan Marcopolo. Menurut berita-berita tersebut, ketika raja Pasai pertama wafat tahun 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Cambay, Gujarat baru ditaklukan penguasa Muslim satu tahun kemudian pada 699 H/1298 M. Sebelum Marison mengemukakan pandangan ini, Arnold telah menyebutkan hal serupa. Marison, dengan demikian, memperkuat pendapat Arnold yang menyebutkan bahwa Coromandel dan Malabar merupakan daerah asal kedatangan Islam ke Nusantara. Arnold mengemukakan pendapatnya berdasarkan kesaksian Ibnu Battutah ketika mengunjungi kawasan ini pada abad ke-14 dan juga didasarkan pada kesamaan mazhab fikih di antara keduanya, yaitu Syafiï.
Sedangkan tentang teori bahwa Islam Indonesia berasal langsung dari Mekkah antara lain dikemukakan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Nieman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Tokoh dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang mendukung teori ini di antaranya Hamka, A. Hasymi, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Al-Attas sebagai tokoh pendukung teori ini menyebutkan, bahwa aspek-aspek atau kerakteristik internal Islam harus menjadi perhatian penting dan sentral dalam melihat kedatangan Islam di Nusantara, bukan unsur-unsur luar atau aspek eksternal. Karakteristik ini dapat menjelaskan secara gamblang mengenai bentuk Islam yang berkembang di Nusantara. Lebih lanjut Al-Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang diidentifikasi sebagai India dan kitab-kitab yang dinyatakan berasal dari India oleh sarjana Barat khususnya, sebenarnya adalah orang Arab dan berasal dari Arab atau Timur Tengah atau setidaknya Persia. Sejalan dengan hal ini, Hamka menyebutkan pula bahwa kehadiran Islam di Indonesia telah terjadi sejak abad ke-7 dan berasal dari Arabia sedangkan T.W. Arnold dan Crawford lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa ternyata di pesisir pantai Sumatera telah ada komunitas muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang di antaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan lokal. Pendapat ini didasarkan pada berita Cina yang menyebutkan, bahwa pada abad ke-7 terdapat sekelompok orang yang disebut Ta-shih yang bermukim di Kanton (Cina) dan Fo-lo-an (termasuk daerah Sriwijaya) serta adanya utusan Raja Ta-shih kepada Ratu Sima di Kalingga Jawa (654/655 M). Sebagian ahli menafsirkan Ta-shih sebagai orang Arab. Mengenai Raja Ta-shih tersebut, menurut Hamka, adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu menjabat sebagai Khalifah Daulah Bani Umayyah. Untuk meyakinkan asal usul Islam di Nusantara, seminar seputar masalah ini telah digelar beberapa kali. Seminar Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia telah diselenggarakan di Medan 17-20 Maret 1969 dan seminar serupa juga diadakan di Aceh pada 10-16 Juli 1978 dan 25-30 September 1980. Berdasarkan hasil seminar-seminar tersebut, disimpulkan bahwa Islam masuk ke Nusantara langsung dari Arabia, bukan India. Hasil seminar ini memperkuat teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab sebagaimana ditegaskan Al-Attas dan didukung oleh sejarawan Indonesia, seperti Hamka dan Muhammad Said. Kehadiran orang-orang Islam yang berasal dari Timur Tengah ke Nusantara(kebanyakan adalah dari Arab dan Persia) menurut Azyumardi Azra, ahli Islam di Asia Tenggara, terjadi pada abad ke-7. Masa-masa awal kehadiran Islam pertama kali dilaporkan oleh seorang agamawan dan pengembara terkenal dari Cina, bernama I-Tsing. Ia menginformasikan bahwa pada 51 H/671 M, ia menumpang kapal Arab dan Persia untuk berlayar dari Kanton dan berlabuh di pelabuhan muara sungai Bhoga, yang disebut juga Sribhoga atau Sribuza, yaitu Musi sekarang. Banyak sarjana modern mengidentifikasi Sribuza sebagai Palembang, ibukota kerajaan Budha Sriwijaya pada masa itu. Menurut Yuantchao kapal yang sampai di Palembang berjumlah sekitar 35 kapal dari Persia. Secara geografis, letak Sriwijaya yang berada di jalur perdagangan internasional memberi pengaruh besar terhadap dunia luar. Beperapa peristiwa yang terjadi di luar daerah kekuasaannya, misalnya perubahan politik di India yang saat itu di bawah hegemoni Buddha, menjadikan Sriwijaya sebagai wilayah Buddha yang dapat dijadikan pilihan. Ini menempatkan Sriwijaya sebagai pusat terkemuka keilmuwan Buddha di Nusantara. I-Tsing, yang menghabiskan beberapa tahun di Palembang dalam perjalanannya menuju ke dan kembali dari India, merekomendasikan Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha yang baik bagi para penuntut ilmu agama ini sebelum mereka melanjutkan pelajaran ke India. Meskipun Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha, tetapi ia memiliki watak yang kosmopolitan. Kondisi ini memungkinkan masuknya berbagai pengaruh atau ajaran lain, termasuk agama Islam. Watak Sriwijaya yang kosmopolitan itulah yang memungkinkan para pengungsi Muslim Arab dan Persia yang diusir dari Kanton setelah terjadi kerusuhan di sana, mereka melakukan eksodus menuju Palembang untuk mencari suaka politik dari penguasa setempat. Bukti lain yang menunjukkan bahwa Islam berasal dari Arab yaitu :
Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M, dikatakan bahwa para pedagang muslim telah banyak berkunjung kala itu ke kerajaan Sriwijaya
Menurut al Mas’udi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas Arab dari Oman, Hidramaut, Basrah, dan Bahrein untuk menyebarkan islam di lingkungannya, sekitar Sumatra, Jawa, dan Malaka.
Munculnya nama “kampong Arab” dan tradisi Arab di lingkungan masyarakat, yang banyak mengenalkan islam.
Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafii, dimana pengaruh mazhab Syafii terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah.
Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya kurang populer dibanding teori-teori sebelumnya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.Kesamaan kebudayaan itu antara lain
<>1) <>Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan syiah atas kematian Husain. Biasanya diperingati dengan membuat bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut juga bulan Hasan-Husain.
Adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310H/922M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
<>3) <>Penggunan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran tingkat awal.
Teori Persia mendapat tentangan dari berbagai pihak, karena bila kita berpedoman kepada masuknya agama Islam pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Sedangkan, saat itu kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di Mekkah, Madinah, Damaskus dan Baghdad. Jadi, belum memungkinkan bagi Persia untuk menduduki kepemimpinan dunia Islam saat itu.Namun, beberapa fakta lainnya menunjukkan bahwa para pedagang Persia menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antar lain:
Gelar “Syah” bagi raja-raja di Indonesia.
Pengaruh aliran “Wihdatul Wujud” (Syeh Siti Jenar).
Pengaruh madzab Syi’ah (Tabut Hasan dan Husen).
Teori lainnya menyatakan bahwa Islam juga berasal dari Cina. Teori ini sangat lemah, namun kemungkinan membawa Islam ke Indonesia sangat besar. Jika diketahui penyebar Islam adalah banyak mereka para wirausahawan, hubungan dagang antara Cina, Arab dan lainnya. Bahkan ketika Cina dipimpin Kubilai Khan, (akhir abad 13) Islam dijadikan agama resmi. Sedangkan Cheng Ho merupakan duta Cina untuk mengembalikan nama besar Cina setelah dipermalukan oleh Mongol. Ada 36 negara yang dikunjungi Cheng Ho, dan salah satunya adalah Indonesia.
Bukti lain yang cukup memperkuat bahwa Islam berasal dari Cina antar lain :
Gedung Batu di semarang (masjid gaya China).
Beberapa makam Cina muslim.
Beberapa wali yang kemungkinkan keturunan China.
Dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan kultural, sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan sosial yang penuh toleransi (Umar kayam:1989).
Berbicara tentang sejarah tentu tidak akan terlepas dari beberapa aspek yang melingkupinya ia tidak sekedar mengungkapkan kuantitas dari data-data yang diperoleh di lapangan, namun berusaha mengungkap hal-hal mendasar dibalik terjadinya proses sejarah tersebut, terutama segala aspek yang menyangkut sosiologi, politik dan budaya sebagai proses menuju perbaikan. Berdasarkan berbagai paparan sejarah masuknya Islam di nusantara, kita bisa mengambil ibroh atau pelajaran berharga tentang dakwah Islam yang dilakukan oleh pata pendahulu kita. Keuletan dan kegigihan para juru dakwah yang berasal dari berbagai tempat dalam menyampaikan ajaran Islam mampu menjadikan negara Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia menjadikan sebuah prestasi yang gemilang bagi mereka para juru dakwah di Nusantara. Hal ini tentu menjadi teladan dan semangat bagi kita semua untuk mempertahankan prestasi tersebut dengan mensyiarkan Islam lebih luas.
Islam Masuk ke Indonesia Pada Abad ke 7:
Seminar masuknya islam di Indonesia (di Aceh) sebagian dasar adalah catatan perjalanan Al mas’udi, yang menyatakan bahwa pada tahun 675 M, terdapat utusan dari raja Arab Muslim yang berkunjung ke Kalingga. Pada tahun 648 diterangkan telah ada koloni Arab Muslim di pantai timur Sumatera.
Seminar mengenai Masuknya Islam ke indonesia di medan pada Ahad 21-24 Syawal 1382 H (17-20 maret 1963 H) yang salah satu kesimpulannya adalah Islam telah masuk ke Indonesia langsung dari Arab.
Dari Harry W. Hazard dalam Atlas of Islamic History (1954), diterangkan bahwa kaum Muslimin masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M yang dilakukan oleh para pedagang muslim yang selalu singgah di sumatera dalam perjalannya ke China.
Dari Gerini dalam Futher India and Indo-Malay Archipelago, di dalamnya menjelaskan bahwa kaum Muslimin sudah ada di kawasan India, Indonesia, dan Malaya antara tahun 606-699 M.
Prof. Sayed Naguib Al Attas dalam Preliminary Statemate on General Theory of Islamization of Malay-Indonesian Archipelago (1969), di dalamnya mengungkapkan bahwa kaum muslimin sudah ada di kepulauan Malaya-Indonesia pada 672 M.
Prof. Sayed Qodratullah Fatimy dalam Islam comes to Malaysia mengungkapkan bahwa pada tahun 674 M. kaum Muslimin Arab telah masuk ke Malaya.
Prof. S. muhammmad Huseyn Nainar, dalam makalah ceramahnya berjudul Islam di India dan hubungannya dengan Indonesia, menyatakan bahwa beberapa sumber tertulis menerangkan kaum Muslimin India pada tahun 687 sudah ada hubungan dengan kaum muslimin Indonesia.
W.P. Groeneveld dalam Historical Notes on Indonesia and Malaya Compiled From Chinese sources, menjelaskan bahwa pada Hikayat Dinasti T’ang memberitahukan adanya Aarb muslim berkunjung ke Holing (Kalingga, tahun 674). (Ta Shih = Arab Muslim).
T.W. Arnold dalam buku The Preching of Islam a History of The Propagation of The Moslem Faith, menjelaskan bahwa Islam datang dari Arab ke Indonesia pada tahun 1 Hijriyah (Abad 7 M).
Islam Masuk Ke Indonesia pada Abad ke-11:
Satu-satunya sumber ini adalah diketemukannya makam panjang di daerah Leran Manyar, Gresik, yaitu makam Fatimah Binti Maimun dan rombongannya. Pada makam itu terdapat prasati huruf Arab Riq’ah yang berangka tahun (dimasehikan 1082)
Islam Masuk Ke Indonesia Pada Abad Ke-13:
Catatan perjalanan Marcopolo, menyatakan bahwa ia menjumpai adanya kerajaan Islam Ferlec (mungkin Peureulack) di Aceh, pada tahun 1292 M.
K.F.H. van Langen, berdasarkan berita China telah menyebut adanya kerajaan Pase (mungkin Pasai) di aceh pada 1298 M.
J.P. Moquette dalam De Grafsteen te Pase en Grisse Vergeleken Met Dergelijk Monumenten uit hindoesten, menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 13.
Beberapa sarjana barat seperti R.A Kern; C. Snouck Hurgronje; dan Schrieke, lebih cenderung menyimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13.
Pendapat ini juga disampaikan oleh N.H. Krom dan Van Den Berg. Namun, pendapat ini memperoleh sanggahan dari : H. Agus Salim, M. Zainal Arifin Abbas, Sayeg Alwi bin Tahir Alhada, H.M Zainuddin, Hamka, Djuned Parinduri, T.W. Arnold yang berpendapat Islam masuk ke Indonesia telah dimulai sejak abad ke-7 M.
Mengenai tempat asal kedatangan Islam yang menyentuh Indonesia, di kalangan para sejarawan terdapat beberapa pendapat. Ahmad Mansur Suryanegara mengikhtisarkannya menjadi tiga teori besar:
<>1. <>Pertama, teori Gujarat. Islam dipercayai datang dari wilayah Gujarat – India melalui peran para pedagang India muslim pada sekitar abad ke-13 M.
Kedua, teori Mekkah. Islam dipercaya tiba di Indonesia langsung dari Timur Tengah melalui jasa para pedagang Arab muslim sekitar abad ke-7 M.
Ketiga, teori Persia. Islam tiba di Indonesia melalui peran para pedagang asal Persia yang dalam perjalanannya singgah ke Gujarat sebelum ke nusantara sekitar abad ke-13 M.
Jika teori tersebut ditelaah lebih jauh, pendapat yang muncul akan cukup beragam. Bahkan beberapa diantaranya ada yang menyatakan bahwa Islam berasal dari Cina.
Terkait teori yang menyatakan bahwa Islam di Indonesia berasal dari anak benua India, misalnya, ternyata sejarawan tidak satu kata mengenai wilayah Gujarat. Pendapat Pijnappel yang juga disokong oleh C. Snouck Hurgronje, J.P. Moquette, E.O. Winstedt, B.J.O. Schrieke, dan lain-lainnya tersebut ternyata berbeda dengan yang dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan G.E. Morison. Pijnapel, seorang ahli Melayu dari Universitas Leiden, Belanda, mengemukakan teori ini pada tahun 1872. Menurut Azyumardi Azra teori ini diambil dari terjemahan Perancis tentang catatan perjalanan Sulaiman, Marco polo dan Ibnu Battutah. Kesimpulan catatan Sulaiman menyebutkan bahwa Islam di Asia Tenggara dikembangkan oleh orang-orang Arab yang bermazhab Syafii dari Gujarat dan Malabar di India. Oleh karena itu, menurut teori ini, Nusantara menerima Islam dari India. Kenyataan bahwa Islam di Nusantara berasal dari India menurut teori ini tidak menunjukkan secara meyakinkan dilihat dari segi pembawanya. Sebagaimana dikemukakan Pijnapel, bahwa Islam di Nusantara berasal dari orang-orang Arab yang bermazhab Syafii yang bermigrasi ke Gujarat dan Malabar. Pijnappel sebenarnya memandang bahwa Islam di Nusantara disebarkan oleh orang-orang Arab. Pandangan ini cukup memberikan pengertian bahwa pada hakekatnya penyebar Islam di Nusantara adalah orang-orang Arab yang telah bermukim di India. Penjelasan ini didasarkan pada seringnya kedua wilayah India dan Nusantara ini disebut dalam sejarah Nusantara klasik. Dalam penjelasan lebih lanjut, Pijnapel menyampaikan logika terbalik, yaitu bahwa meskipun Islam di Nusantara dianggap sebagai hasil kegiatan orang-orang Arab, tetapi hal ini tidak langsung datang dari Arab, melainkan dari India, terutama dari pesisir barat, dari Gujarat dan Malabar. Jika logika ini dibalik, maka dapat dinyatakan bahwa meskipun Islam di Nusantara berasal dari India, sesungguhnya ia dibawa oleh orang-orang Arab.
Pendukung lain teori ini adalah Snouck Hurgronje. Ia berpendapat bahwa, ketika Islam telah mengalami perkembangan dan cukup kuat di beberapa kota pelabuhan di anak benua India, sebagian kaum Muslim Deccan tinggal di sana sebagai pedagang perantara dalam perdagangan Timur Tengah dengan Nusantara. Orang-orang Deccan inilah, kata Hurgronje, datang ke dunia Melayu-Indonesia sebagai penyebar Islam pertama. Orang-orang Arab menyusul kemudian pada masa-masa selanjutnya. Hubungan perdagangan Timur Tengah dan Nusantara menjadi entry point untuk melihat kehadiran Islam di Nusantara. Tetapi karena secara geografis, anak benua India berada di antara Nusantara dan Timur Tengah, maka dapat dipastikan bahwa sebagian padagang Muslim Arab dan juga Persia singgah terlebih dahulu di India sebelum mencapai Nusantara. Kenyataan ini tentu tidak diabaikan Hurgronje, hanya saja ia menekankan peran bangsa India dalam penyebaran Islam di Nusantara. Mengenai waktu kedatangannya, Hurgronje tidak menyebutkan secara pasti. Ia juga tidak menyebutkan secara pasti wilayah mana di India yang dipandang sebagai tempat asal datangnya Islam di Nusantara. Ia hanya memberikan prediksi waktu, yakni abad ke-12 sebagai periode yang paling mungkin sebagai awal penyebaran Islam di Nusantara. Dari segi metodologi sejarah, ketidakpastian tentang waktu dan tempat adalah kesalahan fundamental, sehingga argumentasi Hurgronje terlalu lemah, untuk tidak mengatakan keliru.
Dukungan yang cukup argumentatif atas teori India disampaikan oleh W.F. Stutterheim. Ia menjawab aspek-aspek mendasar dalam sejarah, tentang di mana (ruang) dan kapan (waktu). Dengan jelas, ia menyebutkan Gujarat sebagai negeri asal Islam yang masuk ke Nusantara. Pendapatnya didasarkan pada argumen bahwa Islam disebarkan melalui jalur dagang antara Nusantara Cambay (Gujarat) Timur Tengah Eropa. Argumentasi ini diperkuat dengan pengamatannya terhadap nisan-nisan makam Nusantara yang diperbandingkan dengan nisan-nisan makam di wilayah Gujarat. Relief nisan Sultan pertama dari kerajaan Samudera (Pasai), al-Malik al-Saleh (1297 H), menurut pengamatan Stutterheim, bersifat Hinduistis yang mempunyai kesamaan dengan nisan yang terdapat di Gujarat. Kenyataan ini cukup memberikan keyakinan pada dirinya bahwa Islam datang ke Nusantara dari Gujarat. Demikian ia menjelaskan aspek ruang kedatangan Islam ke Nusantara. Penjelasan ini cukup argumentatif dan didukung data yang memadai, tetapi Stutterheim tidak memperhatikan proses Islamisasi di Gujarat. Sebagaimana dijelaskan Marison, wilayah ini baru diislamkan satu tahun setelah wafatnya sang Sultan, yaitu pada 1298 M. Pada saat bersamaan penyebaran masyarakat Islam pada periode tersebut, ketika bangsa Mongol melebarkan ekspansinya (Bagdad ditaklukan pada 1258 M), mereka mulai mencari daerah baru bagi kehidupan mereka. Seandainya Stutterheim menyebutnya sebagai proses lebih lanjut dari Islamisasi Nusantara, misalnya perkembangan Islam pada abad 14-16, bisa jadi Gujarat ikut andil memberikan pengaruhnya di Nusantara mengingat daerah itu (Gujarat) lebih dekat secara geografis ke wilayah Nusantara. Walaupun terdapat kekurangan, teori yang dikemukakan Stutterheim mendapat dukungan dari Moquette, sarjana asal Belanda.
Penelitian Moquette terhadap bentuk batu nisan membawanya pada kesimpulan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Gujarat. Moquette menjelaskan bahwa bentuk batu nisan, khususnya di Pasai mirip dengan batu nisan pada makam Maulana Malik Ibrahim (822 H/1419 M) di Gresik Jawa Timur. Sedangkan bentuk batu nisan di kedua wilayah itu sama dengan batu nisan yang terdapat di Cambay (Gujarat). Kesamaan bentuk pada nisan-nisan tersebut meyakinkan Moquette bahwa batu nisan itu diimpor dari India. Dengan demikian, Islam di Indonesia, menurutnya, berasal dari India, yaitu Gujarat. Teori ini kemudian dikenal juga dengan teori batu nisan.
Teori lainnya yang menjelaskan bahwa Islam berasal dari anak benua India dikemukakan oleh S.Q. Fatimi dan dikemukakan pula oleh Tome Pires. Ada beberapa alasan mengapa kedua tokoh ini berkeyakinan bahwa Islam berasal dari Benggal (Bangladesh sekarang). Tome Pires berpendapat bahwa kebanyakan orang terkemuka di Pasai adalah orang Benggali atau keturunan mereka. Pendapat ini disetujui oleh Fatimi. Bahkan lebih jauh Fatimi menjelaskan, bahwa Islam muncul pertama kali di Semenanjung Malaya adalah dari arah timur pantai, bukan dari barat Malaka, melalui Kanton, Pharang (Vietnam), Leran dan Trengganu. Proses awal Islamisasi ini, menurutnya, terjadi pada abad ke-11 M. Masa ini dibuktikan dengan ditemukannya batu nisan seorang Muslimah bernama Fatimah binti Maimun yang wafat pada tahun 475 H atau 1082 M di Leran Gresik. Menurut M.C. Ricklef, ini adalah nisan kuburan Muslim tertua yang masih dapat ditemukan di wilayah ini. Berkenaan dengan teori batu nisan dari Stutterheim dan Moquette yang menyatakan Islam di Nusantara berasal dari India, Fatimi menentang keras pendapat ini. Menurutnya, bahwa menghubungkan seluruh batu nisan di Pasai dengan batu nisan dari Gujarat adalah suatu tindakan yang keliru. Berdasarkan hasil pengamatannya, Fatimi menyatakan, bentuk dan gaya batu nisan al-Malik al-Saleh berbeda dengan batu nisan yang ada di Gujarat. Ia berpendapat, bentuk dan gaya batu nisan itu mirip dengan batu nisan yang ada di Benggal. Oleh karena itu, batu nisan tersebut pasti didatangkan dari Benggal, bukan dari Gujarat. Analisis ini dipergunakan Fatimi untuk membangun teorinya yang menyatakan bahwa Islam di Nusantara berasal dari Benggal. Tetapi terdapat kelemahan substansial pada Fatimi, bahwa perbedaan mazhab fikih yang dianut muslim Nusantara, yaitu para pengikut mazhab Syafii dengan para pengikut mazhab Hanafi tidak menjadi perhatiannya. Perbedaan mazhab fikih ini menjadikan teori Fatimi lemah dan tidak cukup kuat diyakini kebenarannya.
Marison, dengan penjelasannya yang lebih komprehensif, mengidentifikasi Coromandel atau Malabar sebagai daerah asal Islam di Nusantara dan itu terjadi pada akhir abad ke 13 M. Ia tidak membangun teorinya berdasarkan kemiripan batu nisan yang terdapat di beberapa tempat di Nusantara dengan yang ada di Gujarat, atau bahkan di Benggal Menurutnya, kemiripan tersebut tidak harus menunjukkan bahwa Islam Nusantara datang dari daerah-daerah tersebut. Argumentasi yang diajukannya dibangun berdasarkan riwayat Melayu dan laporan Marcopolo. Menurut berita-berita tersebut, ketika raja Pasai pertama wafat tahun 698 H/1297 M, Gujarat masih merupakan kerajaan Hindu. Cambay, Gujarat baru ditaklukan penguasa Muslim satu tahun kemudian pada 699 H/1298 M. Sebelum Marison mengemukakan pandangan ini, Arnold telah menyebutkan hal serupa. Marison, dengan demikian, memperkuat pendapat Arnold yang menyebutkan bahwa Coromandel dan Malabar merupakan daerah asal kedatangan Islam ke Nusantara. Arnold mengemukakan pendapatnya berdasarkan kesaksian Ibnu Battutah ketika mengunjungi kawasan ini pada abad ke-14 dan juga didasarkan pada kesamaan mazhab fikih di antara keduanya, yaitu Syafiï.
Sedangkan tentang teori bahwa Islam Indonesia berasal langsung dari Mekkah antara lain dikemukakan oleh Crawfurd (1820), Keyzer (1859), Nieman (1861), de Hollander (1861), dan Verth (1878). Tokoh dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia yang mendukung teori ini di antaranya Hamka, A. Hasymi, dan Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Al-Attas sebagai tokoh pendukung teori ini menyebutkan, bahwa aspek-aspek atau kerakteristik internal Islam harus menjadi perhatian penting dan sentral dalam melihat kedatangan Islam di Nusantara, bukan unsur-unsur luar atau aspek eksternal. Karakteristik ini dapat menjelaskan secara gamblang mengenai bentuk Islam yang berkembang di Nusantara. Lebih lanjut Al-Attas menjelaskan bahwa penulis-penulis yang diidentifikasi sebagai India dan kitab-kitab yang dinyatakan berasal dari India oleh sarjana Barat khususnya, sebenarnya adalah orang Arab dan berasal dari Arab atau Timur Tengah atau setidaknya Persia. Sejalan dengan hal ini, Hamka menyebutkan pula bahwa kehadiran Islam di Indonesia telah terjadi sejak abad ke-7 dan berasal dari Arabia sedangkan T.W. Arnold dan Crawford lebih didasarkan pada beberapa fakta tertulis dari beberapa pengembara Cina sekitar abad ke-7 M, dimana kala itu kekuatan Islam telah menjadi dominan dalam perdagangan Barat-Timur, bahwa ternyata di pesisir pantai Sumatera telah ada komunitas muslim yang terdiri dari pedagang asal Arab yang di antaranya melakukan pernikahan dengan perempuan-perempuan lokal. Pendapat ini didasarkan pada berita Cina yang menyebutkan, bahwa pada abad ke-7 terdapat sekelompok orang yang disebut Ta-shih yang bermukim di Kanton (Cina) dan Fo-lo-an (termasuk daerah Sriwijaya) serta adanya utusan Raja Ta-shih kepada Ratu Sima di Kalingga Jawa (654/655 M). Sebagian ahli menafsirkan Ta-shih sebagai orang Arab. Mengenai Raja Ta-shih tersebut, menurut Hamka, adalah Muawiyah bin Abu Sufyan yang saat itu menjabat sebagai Khalifah Daulah Bani Umayyah. Untuk meyakinkan asal usul Islam di Nusantara, seminar seputar masalah ini telah digelar beberapa kali. Seminar Masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia telah diselenggarakan di Medan 17-20 Maret 1969 dan seminar serupa juga diadakan di Aceh pada 10-16 Juli 1978 dan 25-30 September 1980. Berdasarkan hasil seminar-seminar tersebut, disimpulkan bahwa Islam masuk ke Nusantara langsung dari Arabia, bukan India. Hasil seminar ini memperkuat teori bahwa Islam di Nusantara berasal dari Arab sebagaimana ditegaskan Al-Attas dan didukung oleh sejarawan Indonesia, seperti Hamka dan Muhammad Said. Kehadiran orang-orang Islam yang berasal dari Timur Tengah ke Nusantara(kebanyakan adalah dari Arab dan Persia) menurut Azyumardi Azra, ahli Islam di Asia Tenggara, terjadi pada abad ke-7. Masa-masa awal kehadiran Islam pertama kali dilaporkan oleh seorang agamawan dan pengembara terkenal dari Cina, bernama I-Tsing. Ia menginformasikan bahwa pada 51 H/671 M, ia menumpang kapal Arab dan Persia untuk berlayar dari Kanton dan berlabuh di pelabuhan muara sungai Bhoga, yang disebut juga Sribhoga atau Sribuza, yaitu Musi sekarang. Banyak sarjana modern mengidentifikasi Sribuza sebagai Palembang, ibukota kerajaan Budha Sriwijaya pada masa itu. Menurut Yuantchao kapal yang sampai di Palembang berjumlah sekitar 35 kapal dari Persia. Secara geografis, letak Sriwijaya yang berada di jalur perdagangan internasional memberi pengaruh besar terhadap dunia luar. Beperapa peristiwa yang terjadi di luar daerah kekuasaannya, misalnya perubahan politik di India yang saat itu di bawah hegemoni Buddha, menjadikan Sriwijaya sebagai wilayah Buddha yang dapat dijadikan pilihan. Ini menempatkan Sriwijaya sebagai pusat terkemuka keilmuwan Buddha di Nusantara. I-Tsing, yang menghabiskan beberapa tahun di Palembang dalam perjalanannya menuju ke dan kembali dari India, merekomendasikan Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha yang baik bagi para penuntut ilmu agama ini sebelum mereka melanjutkan pelajaran ke India. Meskipun Sriwijaya sebagai pusat keilmuwan Buddha, tetapi ia memiliki watak yang kosmopolitan. Kondisi ini memungkinkan masuknya berbagai pengaruh atau ajaran lain, termasuk agama Islam. Watak Sriwijaya yang kosmopolitan itulah yang memungkinkan para pengungsi Muslim Arab dan Persia yang diusir dari Kanton setelah terjadi kerusuhan di sana, mereka melakukan eksodus menuju Palembang untuk mencari suaka politik dari penguasa setempat. Bukti lain yang menunjukkan bahwa Islam berasal dari Arab yaitu :
Terdapat juga sebuah kitab ‘Aja’ib al-Hind yang ditulis al-Ramhurmuzi sekitar tahun 1000 M, dikatakan bahwa para pedagang muslim telah banyak berkunjung kala itu ke kerajaan Sriwijaya
Menurut al Mas’udi pada tahun 916 telah berjumpa Komunitas Arab dari Oman, Hidramaut, Basrah, dan Bahrein untuk menyebarkan islam di lingkungannya, sekitar Sumatra, Jawa, dan Malaka.
Munculnya nama “kampong Arab” dan tradisi Arab di lingkungan masyarakat, yang banyak mengenalkan islam.
Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafii, dimana pengaruh mazhab Syafii terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah.
Teori Persia yang dikemukakan oleh sebagian sejarawan di Indonesia tampaknya kurang populer dibanding teori-teori sebelumnya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya pada kebudayaan yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai persamaan dengan Persia.Kesamaan kebudayaan itu antara lain
<>1) <>Peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan syiah atas kematian Husain. Biasanya diperingati dengan membuat bubur Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut juga bulan Hasan-Husain.
Adanya kesamaan ajaran antara ajaran Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310H/922M, tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya.
<>3) <>Penggunan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab, untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Quran tingkat awal.
Teori Persia mendapat tentangan dari berbagai pihak, karena bila kita berpedoman kepada masuknya agama Islam pada abad ke-7, hal ini berarti terjadi pada masa kekuasaan Khalifah Umayyah. Sedangkan, saat itu kepemimpinan Islam di bidang politik, ekonomi dan kebudayaan berada di Mekkah, Madinah, Damaskus dan Baghdad. Jadi, belum memungkinkan bagi Persia untuk menduduki kepemimpinan dunia Islam saat itu.Namun, beberapa fakta lainnya menunjukkan bahwa para pedagang Persia menyebarkan Islam dengan beberapa bukti antar lain:
Gelar “Syah” bagi raja-raja di Indonesia.
Pengaruh aliran “Wihdatul Wujud” (Syeh Siti Jenar).
Pengaruh madzab Syi’ah (Tabut Hasan dan Husen).
Teori lainnya menyatakan bahwa Islam juga berasal dari Cina. Teori ini sangat lemah, namun kemungkinan membawa Islam ke Indonesia sangat besar. Jika diketahui penyebar Islam adalah banyak mereka para wirausahawan, hubungan dagang antara Cina, Arab dan lainnya. Bahkan ketika Cina dipimpin Kubilai Khan, (akhir abad 13) Islam dijadikan agama resmi. Sedangkan Cheng Ho merupakan duta Cina untuk mengembalikan nama besar Cina setelah dipermalukan oleh Mongol. Ada 36 negara yang dikunjungi Cheng Ho, dan salah satunya adalah Indonesia.
Bukti lain yang cukup memperkuat bahwa Islam berasal dari Cina antar lain :
Gedung Batu di semarang (masjid gaya China).
Beberapa makam Cina muslim.
Beberapa wali yang kemungkinkan keturunan China.
Dari beberapa bangsa yang membawa Islam ke Indonesia pada umumnya menggunakan pendekatan kultural, sehingga terjadi dialog budaya dan pergaulan sosial yang penuh toleransi (Umar kayam:1989).
Berbicara tentang sejarah tentu tidak akan terlepas dari beberapa aspek yang melingkupinya ia tidak sekedar mengungkapkan kuantitas dari data-data yang diperoleh di lapangan, namun berusaha mengungkap hal-hal mendasar dibalik terjadinya proses sejarah tersebut, terutama segala aspek yang menyangkut sosiologi, politik dan budaya sebagai proses menuju perbaikan. Berdasarkan berbagai paparan sejarah masuknya Islam di nusantara, kita bisa mengambil ibroh atau pelajaran berharga tentang dakwah Islam yang dilakukan oleh pata pendahulu kita. Keuletan dan kegigihan para juru dakwah yang berasal dari berbagai tempat dalam menyampaikan ajaran Islam mampu menjadikan negara Indonesia berpenduduk muslim terbesar di dunia menjadikan sebuah prestasi yang gemilang bagi mereka para juru dakwah di Nusantara. Hal ini tentu menjadi teladan dan semangat bagi kita semua untuk mempertahankan prestasi tersebut dengan mensyiarkan Islam lebih luas.
3 komentar:
saya sangat tertarik dengan tulisan ukht zulaikha mengenai sejarah datangnya islam di nusantara, karena pembahasan yang ditulis cukup panjang disertai dengan analisa atau komentar2 di setiap teori pada khususnya, saya hanya mau minta izin untuk menjadikan tulisan tsb sebagai referensi utama dalam penulisan makalah saya, dan kalau boleh saya minta referensi buku2 dalam penulisan makalah teori masuknya islam ke indonesia. syukron
aku tertarik dengan tulisan anda. dan aku senang ada seorang pemudi yang mau susah payah mengerjakan ini.sukses selalu buat anda dan jangan jngn tinggl kan agama anda walau satu detik.
aku tertarik dengan tulisan anda. dan aku senang ada seorang pemudi yang mau susah payah mengerjakan ini.sukses selalu buat anda dan jangan jngn tinggl kan agama anda walau satu detik.
Posting Komentar