Jumat, 17 Januari 2014

STUDI KASUS ETIKA BISNIS (PKN)

STUDI KASUS
Masalah Etika Binis: PRO DAN KONTRA “PEKAN KONDOM NASIONAL”

A.    LATAR BELAKANG
Pekan Kondom Nasional (PKN) yang menurut jadwal diselenggarakan pada tanggal 1 – 7 Desember 2013 menuai kontroversi dari kalangan masyarakat, sebagaimana yang tergambar lewat berita dan media sosial. Perasaan yang mendominasi adalah panik dan marah. Bukan tanpa sebab jika masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa dan orang tua, menentang pelaksanaan PKN. Tempat pelaksanaan PKN, ketidakjelasan, dan kurangnya informasi tentang PKN menjadi beberapa penyebabnya.

B.     IDENTIFIKASI MASALAH
1.      Tujuan, kegiatan, dan target PKN
2.      Pencegahan penularan HIV melalui PKN
3.      Konsekuensi yang timbul dari kegiatan tersebut

C.     LANDASAN TEORI
Landasan teori yang digunakan dalam studi kasus ini adalah teori-teori yang ada di dalam etika bisnis (Buku: Business Ethics (Etika Bisnis) oleh, Erni R. Ernawan). Dibagi menjadi beberapa teori:
1.      Etika dan bisnis
Di dalam teori etika dan bisnis ini menganalisis dalam hal-hal seperti: etika, etiket, moral, hokum dan agama
2.      Prinsip-prinsip dalam etika bisnis
Prisnsip-prinsip ini seperti: prinsip otonomi, prinsip kejujuran, prinsip keadilan, prinsip saling menguntungkan, prinsip integritas moral.

D.    PEMBAHASAN
Berdasarkan penjelasan Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, PKN sudah dilaksanakan setiap tahun sejak tahun 2009. PKN diselenggarakan oleh Distributor Kondom (DKT) Indonesia bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) di mana – dahulu – Nafsiah Mboi menjadi Sekretaris sekaligus Ketua Tim Pelaksana. Hasil estimasi tim KPAN menyebutkan bahwa enam sampai tujuh juta laki-laki (suami) Indonesia (dengan sengaja) “membeli” seks di tempat pelacuran sehingga infeksi HIV semakin meningkat di kalangan laki-laki. Hal ini menyebabkan peningkatan penularan kepada ibu rumah tangga (istri) dan bayi – yang dalam kasus ini bisa disebut sebagai pihak “tidak bersalah”

Berangkat dari fenomena inilah akhirnya PKN dicetuskan. Tujuan utama penyelenggaraan PKN adalah mencegah penularan HIV dari individu dengan perilaku seks berisiko di tempat-tempat seks berisiko, seperti: tempat pelacuran, terminal, atau tempat hiburan. Kegiatannya adalah mendatangi tempat-tempat seks berisiko untuk memberikan edukasi dan membagi-bagikan kondom. Dari pernyataan inilah dapat diketahui dengan jelas siapa target PKN dan di mana seharusnya PKN dilaksanakan.

Perlu digarisbawahi bahwa setiap program yang bertujuan “mencegah”, seperti PKN, harus memegang teguh prinsip target: target individu (siapa), target tempat (di mana), dan target metode (pemilihan cara pencegahan yang tepat dan efektif sesuai dengan target individu/tempat).

Dalam konteks perilaku seks, target individu dalam pencegahan penularan HIV bisa terbagi menjadi dua, yaitu individu dengan perilaku seks berisiko dan individu dengan perilaku seks tanpa risiko. Secara garis besar, cara pencegahan penularan HIV melalui aktivitas seks – seperti yang disarankan oleh pakar HIV dunia – terdiri dari tiga cara: Abstinence, Be Faithful otherwise use Condom (disingkat “ABC”):

A (Abstinence) : Tidak melakukan seks sebelum menikah.
B (Be faithful) : Ketika sudah menikah setialah pada pasangan (tidak melakukan seks bebas).
C (Condom) : Jika tidak bisa menjalani A dan B – alias “tidak kuat imannya”,– maka gunakanlah kondom.

Merujuk kepada penjelasan lebih lanjut tentang pencegahan penularan HIV melalui metodeABC, maka ketika ditelaah lebih lanjut bisa dikatakan bahwa ketiga cara tersebut tersusun berdasarkan urutan prioritas. Posisi kondom terletak pada urutan terakhir dan ditujukan hanya untuk populasi tertentu: individu dengan perilaku seks berisiko.

Di lapangan, pada kenyataannya (terlepas dari kesalahan koordinasi atau hal lain) pelaksanaan PKN melenceng dari target individu dan tempat: menyebarkan kondom di area kampus atau di tempat umum; bukan di area risiko tinggi-penularan. Ditambah lagi dengan informasi terkait PKN yang simpang siur dan mendapat “bumbu” kata-kata “silakan dicoba dengan pacarnya” dari individu/oknum yang menyebarkan kondom. Hal ini menyebabkan kesalahan dalam interpretasi PKN di kalangan generasi muda terutama remaja usia-sekolah. Perlu diingat bahwa generasi muda belum memiliki penyaring yang efektif dan tepat dalam memproses informasi.

Mereka bisa saja berpikir, “Tidak mengapa melakukan seks asal pakai kondom.”
Ingat! Yang salah sejak awal adalah perilaku seks berisiko; bukan memakai atau tidak memakai kondom.

Penafsiran seperti ini bisa membentuk kerangka berpikir yang salah di kalangan generasi muda. Apakah memang pesan ini yang ingin disampaikan oleh PKN?

Berdasarkan hasil evaluasi program pencegahan penularan HIV dari negara-negara lain, disebutkan bahwa jika metode atau program untuk menurunkan risiko penularan HIVyang disebabkan oleh perilaku seks berisiko seperti PKN dianggap berhasil maka hal ini justru dapat dikompensasi dengan peningkatan perilaku seks berisiko. Dengan kata lain,jika program ini berhasil menekan angka penularan HIV maka individu dengan perilaku berisiko semakin bermunculan, semakin menjadi, dan sebagainya. Oleh karena itu, program yang bertujuan mengubah perilaku seks berisiko harus tetap menjadipondasi untuk mencegah penularan HIV; pusat dari segala permasalahan ini adalah perilaku seks berisiko.

Apa yang bisa dilakukan?
Perkuat sosialisasi A (Abstinence) dan B (Be faithfull) sebagai cara pencegahan penularan HIV, baik terhadap individu dengan perilaku seks berisiko maupun tidak. Sosialisasi ini bisa dilakukan melalui pendidikan dan pemahaman keagamaan sejak usia dini, utamanya, dan pendidikan kesehatan. Di sinilah letak peran penting orang tua atau orang terdekat untuk mengontrol, mengarahkan, atau mendukung perubahan perilaku berisiko.

Adapun untuk individu dengan perilaku seks berisiko, selain tetap melakukan penguatan Adan B, terdapat tambahan perlakuan khusus agar bisa mengubah perilaku. Para ahli merekomendasikan beberapa prinsip yang bisa dilakukan agar intervensi untuk merubah perilaku bisa efektif.

Yang perlu digarisbawahi terkait prinsip ini adalah bahwa
                                           I.            mengubah perilaku itu sangat sulit sehingga membutuhkan waktu. Selanjutnya, prinsip ini mengatakan bahwa
                                        II.            partisipasi dari pihak-pihak yang terkait mutlak diperlukan (perlu kontrol dari sistem/lingkungan sekitar untuk mengubah perilaku). Selain itu, dalam konteks mengubah perilaku seks berisiko,
                                     III.            hendaknya intervensi yang dipilih – sebagai usaha untuk mengubah perilaku – bukan intervensi yang “terkesan” memfasilitasi, dalam hal ini dengan menyebar kondom; kegiatan PKN identik dengan penyebaran kondom. Sebagai tambahan, perlu diterapkan “efek jera”, yang tentu saja disesuaikan dengan target perilaku yang ingin diubah.

Ke depan, jika pendidikan dan pemahaman keagamaan berhasil secara tepat dan benar, pemerintah tidak perlu khawatir lagi untuk menciptakan program pencegahan penularan HIV yang muncul akibat segala jenis “perilaku berisiko”.

Bukan rahasia lagi, iman merupakan benteng sekaligus pondasi untuk mengatasi segala jenis permasalahan perilaku, termasuk akar dari permasalahan penularan HIV ini yaitu perilaku seks berisiko.

E.     PEMECAHAN MASALAH
Dari pro dan kontra diatas mengenai “Pekan Kondom Nasional” maka diidentifikasi bahwa:
1.      Tujuan utama penyelengaraan PKN ini adalah untuk mencegah penularan HIV dari individu dengan perilaku seks berisiko ditempat tempat seks beresiko: tempat pelacuran, terminal, atau tempat hiburan. Kegiatannya adalah mendatangi tempat-tempat seks berisiko untuk memberikan edukasi dan membagi-bagikan kondom. Sehingga dapat diketahui dengan jelas siapa target dan dimana seharusnya PKN ini di mana seharusnya PKN dilaksanakan
2.      Target individu dalam pencegahan penularan HIV bisa terbagi menjadi dua, yaitu individu dengan perilaku seks berisiko dan individu dengan perilaku seks tanpa risiko.
3.      Konsekuensi PKN:
a.       Kesalahan Presepsi. Perlu diingat bahwa generasi muda belum memiliki penyaring yang efektif dan tepat dalam memproses informasi.
b.      Meningkatnya perilaku berisiko. Program yang bertujuan mengubah perilaku seks beresiko harus tetap menjadi pondasi  untuk mencegah penularan HIV, pusatnya dari segala permasalahan ini ada perilaku berisiko.
4.      Yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip yang direkomendasikan oleh para ahli agar untuk merubah perilaku sehingga dapat efektif.
5.      Harus dapat menerapkan pendidikan dan penerapan agama secara tepat dan benar sehingga pemerintah tidak perlu khawatir lagi untuk menciptakan program pencegahan penularan HIV yang muncul akibat segala jenis “perilaku berisiko”.

F.      PENUTUP
a.       Kesimpulan
Dalam masalah ini saya menyimpulkan bahwa PKN tidak sepenuhnya berjalan dengan baik terkait dengan pro dan kontra yang berada di dalam masyakarat.
Karena presepsi langsung yang timbul dibenak masyrakat adalah “seks bebas diperbolehkan”. Dalam teori etika bisnis maka dapat dihubungkan dengan moralitas masyarakat. Mengenai apa yang benar dan salah sesuai dengan standar moral.

Meskipun demikian, menurut saya bahwa PKN  ini telah menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis kepada para konsumennya. Dengan menerapkan prinsip tersebut maka PKN juga mendapat dukungan dari pemerintah untuk mencegah penularan HIV dari “perilaku berisiko.”

Kemudian adanya pembagian kondom di kampus-kampus dengan “bumbu” kata-kata “silakan dicoba dengan pacarnya” dari individu/oknum yang menyebarkan kondom. Benar, bahwasanya tidak semua di kalangan generasi muda terutama remaja usia-sekolah dapat menyaring informasi ini secara benar.

b.      Saran
Saran saya bahwa dengan adanya pencegahan penularan HIV ini memang lebih baik dari pada mengobati para perilaku beresiko nantinya. Tapi yang paling saya tekankan adalah pendidikan yang benar-benar matang. Bukan untuk mengenal bagaimana seks bebas itu, tapi untuk menjauhi bahaya dari akibat yang ditimbulkannya. Terutama pendalam nilai-nilai agama para indivivu yang harus diterapkan dan ditanamkan sejak dini. Sehingga pemerintah tidak ambil pusing lagi dalam penanganan penularan HIV.

Dengan belajar memahami dengan baik dan tepat penerapan etika bisnis, maka tidak aka nada lagi kesalahpahaman yang ditimbulkan, baik dari pihak perusahaan, pemerintah dan juga demi kebaikan semua masyarakat.

Referensi:
1.      Mboi, N. 2013. Memutus Rantai Penularan HIV/AIDS. Video file:http://www.youtube.com/watch?v=rkzEymXjQbI&feature=youtu.be diakses pada tanggal 3 Desember 2013.
2.      Aggleton, P., Chase, E. and Rivers. 2004. HIV/AIDS Prevention and Care Among Especially Vulnerable Young People: A Framework for Action. Thomas Coram Research Unit, University of London (published paper), tersedia online dihttp://www.safepassages.soton.ac.uk/pdfs/evypframework.pdf.
3.      Cassell, M.M., Halperin, D.T., Shelton, J.D. and Stanton, D. 2006. Risk Compensation: The Achilles’ Heel of Innovations in HIV Prevention? British Medical Journal, 332, 605–607.
4.      National Institute for Health and Care Excellence. 2007. Behaviour Change: The Principles for Effective Interventions. NICE Public Health Guidance, tersedia online dihttp://www.nice.org.uk/ph6.

Tidak ada komentar: