STUDI
KASUS
Masalah Etika Binis: PRO DAN KONTRA “PEKAN KONDOM NASIONAL”
A. LATAR
BELAKANG
Pekan Kondom Nasional (PKN)
yang menurut jadwal diselenggarakan pada tanggal 1 – 7 Desember 2013 menuai
kontroversi dari kalangan masyarakat, sebagaimana yang tergambar lewat berita
dan media sosial. Perasaan yang mendominasi adalah panik dan marah. Bukan tanpa
sebab jika masyarakat, terutama dari kalangan mahasiswa dan orang tua,
menentang pelaksanaan PKN. Tempat pelaksanaan PKN, ketidakjelasan, dan
kurangnya informasi tentang PKN menjadi beberapa penyebabnya.
B. IDENTIFIKASI
MASALAH
1. Tujuan,
kegiatan, dan target PKN
2. Pencegahan
penularan HIV melalui PKN
3. Konsekuensi
yang timbul dari kegiatan tersebut
C. LANDASAN
TEORI
Landasan teori
yang digunakan dalam studi kasus ini adalah teori-teori yang ada di dalam etika
bisnis (Buku: Business Ethics (Etika Bisnis) oleh, Erni R. Ernawan). Dibagi
menjadi beberapa teori:
1. Etika
dan bisnis
Di dalam teori etika dan bisnis ini
menganalisis dalam hal-hal seperti: etika, etiket, moral, hokum dan agama
2. Prinsip-prinsip
dalam etika bisnis
Prisnsip-prinsip ini seperti: prinsip
otonomi, prinsip kejujuran, prinsip keadilan, prinsip saling menguntungkan,
prinsip integritas moral.
D. PEMBAHASAN
Berdasarkan
penjelasan Menteri Kesehatan, Nafsiah Mboi, PKN sudah dilaksanakan setiap tahun
sejak tahun 2009. PKN diselenggarakan oleh Distributor Kondom (DKT) Indonesia
bekerjasama dengan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) di mana
– dahulu – Nafsiah Mboi menjadi Sekretaris sekaligus Ketua Tim Pelaksana. Hasil
estimasi tim KPAN menyebutkan bahwa enam sampai tujuh juta laki-laki
(suami) Indonesia (dengan sengaja) “membeli” seks di tempat pelacuran sehingga
infeksi HIV semakin meningkat di kalangan laki-laki. Hal ini menyebabkan
peningkatan penularan kepada ibu rumah tangga (istri) dan bayi – yang dalam
kasus ini bisa disebut sebagai pihak “tidak bersalah”
Berangkat dari
fenomena inilah akhirnya PKN dicetuskan. Tujuan utama penyelenggaraan PKN
adalah mencegah penularan HIV dari individu dengan perilaku seks berisiko
di tempat-tempat seks berisiko, seperti: tempat pelacuran, terminal, atau
tempat hiburan. Kegiatannya adalah mendatangi tempat-tempat seks berisiko untuk
memberikan edukasi dan membagi-bagikan kondom. Dari pernyataan inilah dapat
diketahui dengan jelas siapa target PKN dan di mana seharusnya PKN
dilaksanakan.
Perlu
digarisbawahi bahwa setiap program yang bertujuan “mencegah”, seperti PKN,
harus memegang teguh prinsip target: target individu (siapa), target
tempat (di mana), dan target metode (pemilihan cara pencegahan yang tepat dan
efektif sesuai dengan target individu/tempat).
Dalam
konteks perilaku seks, target individu dalam pencegahan penularan HIV bisa
terbagi menjadi dua, yaitu individu dengan perilaku seks berisiko dan individu
dengan perilaku seks tanpa risiko. Secara garis besar, cara pencegahan
penularan HIV melalui aktivitas seks – seperti yang disarankan oleh pakar HIV
dunia – terdiri dari tiga cara: Abstinence, Be Faithful otherwise use
Condom (disingkat “ABC”):
A (Abstinence)
: Tidak melakukan seks sebelum menikah.
B (Be
faithful) : Ketika sudah menikah setialah pada pasangan (tidak melakukan seks
bebas).
C (Condom)
: Jika tidak bisa menjalani A dan B – alias “tidak kuat imannya”,–
maka gunakanlah kondom.
Merujuk kepada
penjelasan lebih lanjut tentang pencegahan penularan HIV melalui metodeABC,
maka ketika ditelaah lebih lanjut bisa dikatakan bahwa ketiga cara tersebut
tersusun berdasarkan urutan
prioritas. Posisi kondom terletak pada urutan terakhir dan ditujukan hanya untuk populasi tertentu:
individu dengan perilaku seks berisiko.
Di lapangan,
pada kenyataannya (terlepas dari kesalahan koordinasi atau hal lain)
pelaksanaan PKN melenceng dari target individu dan tempat: menyebarkan kondom
di area kampus atau di tempat umum; bukan di
area risiko tinggi-penularan. Ditambah lagi dengan informasi terkait
PKN yang simpang siur dan mendapat “bumbu” kata-kata “silakan dicoba dengan
pacarnya” dari individu/oknum yang menyebarkan kondom. Hal ini menyebabkan
kesalahan dalam interpretasi PKN di kalangan generasi muda terutama remaja
usia-sekolah. Perlu diingat bahwa generasi muda belum memiliki penyaring yang
efektif dan tepat dalam memproses informasi.
Mereka bisa saja
berpikir, “Tidak mengapa melakukan seks asal pakai kondom.”
Ingat! Yang salah sejak awal adalah perilaku seks berisiko; bukan
memakai atau tidak memakai kondom.
Penafsiran
seperti ini bisa membentuk kerangka berpikir yang salah di kalangan generasi
muda. Apakah memang pesan ini yang ingin disampaikan oleh PKN?
Berdasarkan
hasil evaluasi program pencegahan penularan HIV dari negara-negara lain,
disebutkan bahwa jika metode atau program untuk menurunkan risiko
penularan HIVyang disebabkan oleh perilaku seks berisiko seperti PKN dianggap
berhasil maka hal ini justru dapat dikompensasi dengan peningkatan perilaku
seks berisiko. Dengan kata lain,jika program ini berhasil menekan angka
penularan HIV maka individu dengan perilaku berisiko semakin bermunculan,
semakin menjadi, dan sebagainya. Oleh karena itu, program yang
bertujuan mengubah perilaku seks berisiko harus tetap
menjadipondasi untuk mencegah penularan HIV; pusat dari segala
permasalahan ini adalah perilaku seks berisiko.
Apa yang bisa
dilakukan?
Perkuat
sosialisasi A (Abstinence) dan B (Be faithfull) sebagai
cara pencegahan penularan HIV, baik terhadap individu dengan perilaku seks
berisiko maupun tidak. Sosialisasi ini bisa dilakukan melalui pendidikan dan
pemahaman keagamaan sejak usia dini, utamanya, dan pendidikan kesehatan. Di
sinilah letak peran penting orang tua atau orang terdekat untuk mengontrol,
mengarahkan, atau mendukung perubahan perilaku berisiko.
Adapun untuk
individu dengan perilaku seks berisiko, selain tetap melakukan
penguatan Adan B, terdapat tambahan perlakuan khusus agar bisa
mengubah perilaku. Para ahli merekomendasikan beberapa prinsip yang bisa
dilakukan agar intervensi untuk merubah perilaku bisa efektif.
Yang perlu
digarisbawahi terkait prinsip ini adalah bahwa
I.
mengubah perilaku itu
sangat sulit sehingga membutuhkan waktu. Selanjutnya, prinsip ini mengatakan
bahwa
II.
partisipasi dari
pihak-pihak yang terkait mutlak diperlukan (perlu kontrol dari
sistem/lingkungan sekitar untuk mengubah perilaku). Selain itu, dalam konteks
mengubah perilaku seks berisiko,
III.
hendaknya intervensi
yang dipilih – sebagai usaha untuk mengubah perilaku – bukan intervensi yang
“terkesan” memfasilitasi, dalam hal ini dengan menyebar kondom; kegiatan PKN
identik dengan penyebaran kondom. Sebagai tambahan, perlu diterapkan “efek
jera”, yang tentu saja disesuaikan dengan target perilaku yang ingin diubah.
Ke
depan, jika pendidikan dan pemahaman keagamaan berhasil secara tepat dan benar,
pemerintah tidak perlu khawatir lagi untuk menciptakan program pencegahan
penularan HIV yang muncul akibat segala jenis “perilaku berisiko”.
Bukan
rahasia lagi, iman merupakan benteng sekaligus pondasi untuk mengatasi segala
jenis permasalahan perilaku, termasuk akar dari permasalahan penularan HIV ini
yaitu perilaku seks berisiko.
E. PEMECAHAN
MASALAH
Dari
pro dan kontra diatas mengenai “Pekan Kondom Nasional” maka diidentifikasi
bahwa:
1. Tujuan
utama penyelengaraan PKN ini adalah untuk mencegah penularan HIV dari individu
dengan perilaku seks berisiko ditempat tempat seks beresiko: tempat pelacuran,
terminal, atau tempat hiburan. Kegiatannya adalah mendatangi tempat-tempat seks
berisiko untuk memberikan edukasi dan membagi-bagikan kondom. Sehingga dapat
diketahui dengan jelas siapa target dan dimana seharusnya PKN ini di mana
seharusnya PKN dilaksanakan
2. Target
individu dalam pencegahan penularan HIV bisa terbagi menjadi dua, yaitu
individu dengan perilaku seks berisiko dan individu dengan perilaku seks tanpa
risiko.
3. Konsekuensi
PKN:
a. Kesalahan
Presepsi. Perlu diingat bahwa generasi muda belum memiliki penyaring yang
efektif dan tepat dalam memproses informasi.
b. Meningkatnya
perilaku berisiko. Program yang bertujuan mengubah perilaku seks beresiko harus
tetap menjadi pondasi untuk mencegah
penularan HIV, pusatnya dari segala permasalahan ini ada perilaku berisiko.
4. Yang
dapat dilakukan adalah dengan menerapkan prinsip-prinsip yang direkomendasikan
oleh para ahli agar untuk merubah perilaku sehingga dapat efektif.
5. Harus
dapat menerapkan pendidikan dan penerapan agama secara tepat dan benar sehingga
pemerintah tidak perlu khawatir lagi untuk menciptakan program pencegahan
penularan HIV yang muncul akibat segala jenis “perilaku berisiko”.
F. PENUTUP
a. Kesimpulan
Dalam masalah ini saya menyimpulkan
bahwa PKN tidak sepenuhnya berjalan dengan baik terkait dengan pro dan kontra
yang berada di dalam masyakarat.
Karena presepsi langsung yang timbul
dibenak masyrakat adalah “seks bebas diperbolehkan”. Dalam teori etika bisnis
maka dapat dihubungkan dengan moralitas masyarakat. Mengenai apa yang benar dan
salah sesuai dengan standar moral.
Meskipun demikian, menurut saya bahwa
PKN ini telah menerapkan prinsip-prinsip
etika bisnis kepada para konsumennya. Dengan menerapkan prinsip tersebut maka
PKN juga mendapat dukungan dari pemerintah untuk mencegah penularan HIV dari
“perilaku berisiko.”
Kemudian adanya pembagian kondom di
kampus-kampus dengan “bumbu” kata-kata “silakan dicoba dengan pacarnya” dari individu/oknum
yang menyebarkan kondom. Benar, bahwasanya tidak semua di kalangan generasi
muda terutama remaja usia-sekolah dapat menyaring informasi ini secara benar.
b. Saran
Saran saya bahwa dengan adanya
pencegahan penularan HIV ini memang lebih baik dari pada mengobati para
perilaku beresiko nantinya. Tapi yang paling saya tekankan adalah pendidikan
yang benar-benar matang. Bukan untuk mengenal bagaimana seks bebas itu, tapi
untuk menjauhi bahaya dari akibat yang ditimbulkannya. Terutama pendalam nilai-nilai
agama para indivivu yang harus diterapkan dan ditanamkan sejak dini. Sehingga
pemerintah tidak ambil pusing lagi dalam penanganan penularan HIV.
Dengan belajar memahami dengan baik dan
tepat penerapan etika bisnis, maka tidak aka nada lagi kesalahpahaman yang
ditimbulkan, baik dari pihak perusahaan, pemerintah dan juga demi kebaikan
semua masyarakat.
Referensi:
1. Mboi,
N. 2013. Memutus Rantai Penularan HIV/AIDS. Video file:http://www.youtube.com/watch?v=rkzEymXjQbI&feature=youtu.be diakses
pada tanggal 3 Desember 2013.
2. Aggleton,
P., Chase, E. and Rivers. 2004. HIV/AIDS Prevention and Care Among
Especially Vulnerable Young People: A Framework for Action. Thomas Coram
Research Unit, University of London (published paper),
tersedia online dihttp://www.safepassages.soton.ac.uk/pdfs/evypframework.pdf.
3. Cassell,
M.M., Halperin, D.T., Shelton, J.D. and Stanton, D. 2006. Risk
Compensation: The Achilles’ Heel of Innovations in HIV Prevention? British
Medical Journal, 332, 605–607.
4. National
Institute for Health and Care Excellence. 2007. Behaviour Change: The
Principles for Effective Interventions. NICE Public Health Guidance,
tersedia online dihttp://www.nice.org.uk/ph6.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar